Praktik Disinformasi telah Berkembang dari Operasi Intelijen menjadi Industri Gelap; Pelajaran dari Korsel

- Senin, 23 Mei 2022 | 13:44 WIB
ilustrasi hoax (Istimewa)
ilustrasi hoax (Istimewa)

Penulis: K. Hazel Kwon - Associate Professor of Journalism and Digital Audiences, Arizona State University 

FAKTAIDN - Disinformasi, praktik memadukan informasi yang benar dengan yang palsu untuk menipu pemerintah atau memengaruhi opini publik, awalnya berasal dari Uni Soviet.

Tetapi kini badan-badan intelijen negara bukan lagi satu-satunya aktor disinformasi.

Jaman sekarang, disinformasi telah berkembang menjadi sebuah kebutuhan pasar, sebuah industri dengan “layanan” yang bisa dikontrak, yang memiliki “buruh” yang dibayar, dan memungkinkan adanya kegiatan jual beli opini menyesatkan maupun pembaca palsu.

Beberapa pemain dari sektor swasta pun terlibat, didorong oleh motif politik, keuntungan finansial, atau keduanya.

Di Prancis dan Jerman, berbagai perusahaan penyedia layanan hubungan masyarakat (humas) atau public relations (PR) merekrut selebritas media sosial (influencer) untuk menyebar kebohongan.

Baca Juga: Guru Besar UPI Minta Pembahasan RUU Sisdiknas Harus Dijauhkan dari Kepentingan Oligarki

Di Honduras, banyak politisi mempekerjakan staf untuk membuat akun-akun Facebook palsu.

Influencer Twitter di Kenya dipekerjakan untuk mempromosikan tagar politik, dan dibayar 15 kali lebih banyak daripada jumlah gaji rata-rata yang umumnya didapat pekerja di Kenya dalam sehari.

Tim peneliti dari Universitas Oxford, Inggris, menemukan aktivitas disinformasi yang disponsori pemerintah di 81 negara maupun yang dioperasikan sektor swasta di 48 negara.

Korea Selatan menjadi salah satu negara yang berada di pusaran disinformasi daring.

Di saat negara-negara Barat baru mulai meningkatkan perhatian pada isu disinformasi pada tahun 2016 dipicu maraknya hoaks selama periode pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 2016 dan referendum Brexit media di Korea Selatan sudah melaporkan aktivitas disinformasi pertama pada tahun 2008.

Baca Juga: Kedubes Inggris Kibarkan Bendera LGBT, Ketua MUI: Tamu Harus Tahu Diri

Sebagai peneliti yang mempelajari audiens media digital, saya menemukan bahwa disinformasi yang telah terjadi selama 13 tahun di Korea Selatan menunjukkan bagaimana teknologi, ekonomi, dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain dalam mendorong terbentuknya “industri disinformasi”.

Apa yang terjadi di Korea Selatan memuat pelajaran berharga bagi berbagai negara di dunia.

Halaman:

Editor: Rizal Muhammadi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X