Penulis: K. Hazel Kwon - Associate Professor of Journalism and Digital Audiences, Arizona State University
FAKTAIDN - Disinformasi, praktik memadukan informasi yang benar dengan yang palsu untuk menipu pemerintah atau memengaruhi opini publik, awalnya berasal dari Uni Soviet.
Tetapi kini badan-badan intelijen negara bukan lagi satu-satunya aktor disinformasi.
Jaman sekarang, disinformasi telah berkembang menjadi sebuah kebutuhan pasar, sebuah industri dengan “layanan” yang bisa dikontrak, yang memiliki “buruh” yang dibayar, dan memungkinkan adanya kegiatan jual beli opini menyesatkan maupun pembaca palsu.
Beberapa pemain dari sektor swasta pun terlibat, didorong oleh motif politik, keuntungan finansial, atau keduanya.
Di Prancis dan Jerman, berbagai perusahaan penyedia layanan hubungan masyarakat (humas) atau public relations (PR) merekrut selebritas media sosial (influencer) untuk menyebar kebohongan.
Baca Juga: Guru Besar UPI Minta Pembahasan RUU Sisdiknas Harus Dijauhkan dari Kepentingan Oligarki
Di Honduras, banyak politisi mempekerjakan staf untuk membuat akun-akun Facebook palsu.
Influencer Twitter di Kenya dipekerjakan untuk mempromosikan tagar politik, dan dibayar 15 kali lebih banyak daripada jumlah gaji rata-rata yang umumnya didapat pekerja di Kenya dalam sehari.
Tim peneliti dari Universitas Oxford, Inggris, menemukan aktivitas disinformasi yang disponsori pemerintah di 81 negara maupun yang dioperasikan sektor swasta di 48 negara.
Korea Selatan menjadi salah satu negara yang berada di pusaran disinformasi daring.
Di saat negara-negara Barat baru mulai meningkatkan perhatian pada isu disinformasi pada tahun 2016 dipicu maraknya hoaks selama periode pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 2016 dan referendum Brexit media di Korea Selatan sudah melaporkan aktivitas disinformasi pertama pada tahun 2008.
Baca Juga: Kedubes Inggris Kibarkan Bendera LGBT, Ketua MUI: Tamu Harus Tahu Diri
Sebagai peneliti yang mempelajari audiens media digital, saya menemukan bahwa disinformasi yang telah terjadi selama 13 tahun di Korea Selatan menunjukkan bagaimana teknologi, ekonomi, dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain dalam mendorong terbentuknya “industri disinformasi”.
Apa yang terjadi di Korea Selatan memuat pelajaran berharga bagi berbagai negara di dunia.
Artikel Terkait
Hal yang Harus Kamu Lakukan Agar Cantik Ala Wanita Korea, Ini Ulasannya
Kurang dari Sepekan Korea Utara Diduga Telah Meluncurkan 2 Rudal, Ada Apa?
Bawakan Lagu Bergenre Tradisional, Stray Kids Tampil Memukau di Hadapan Presiden Korea pada Dubai Expo 2020
Wajib Ditonton! Ini 8 Rekomendasi Drama Korea Rating Tertinggi Tayang di Januari 2022
Valentine Tiba, Ini Deretan 5 Drama Korea Romantis yang Akan Tayang Februari 2022
Wajib Tonton! Inilah 10 Drama Korea Terbaru Tayang Februari 2022
5 Alasan Kamu Harus Nonton Drama Korea Terbaru Twenty Five Twenty One
5 Drama Korea Populer yang Diadaptasi dari Webtoon, Apa Drama Favoritmu ?
Konser BTS di Korea Resmi Diadakan! ARMY Perlu Tahu Peraturan Lengkapnya
Benarkah Jungkook BTS Akan jadi Tamu Spesial di Episode Terakhir Drama Korea A Business Proposal? Ini Infonya